Menjadi sebuah realita bahwa para penyelenggara
PBJP merasa tidak nyaman dan terusik serta was-was dalam menyelenggarakan PBJP
akibat kerapkali aparat penegak hukum (baik oknum polisi dan/atau oknum
kejaksaan) melakukan pemanggilan dan/atau pemeriksaan terhadap penyelenggara
yang tengah menyelenggarakan PBJP. Mereka beralasan bahwa adanya laporan dari
pihak-pihak (masyarakat, LSM ataupun pihak yang terkait dalam PBJP) yang
mengindikasikan adanya penyimpangan prosedur dan pelanggaran hukum dalam
penyelenggaraan PBJP.
Padahal, dalam Peraturan Presiden (Perpres)
Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sudah diatur
mengenai mekanisme pengaduan masyarakat pada pasal 77:
(1)
Masyarakat menyampaikan pengaduan kepada APIP disertai bukti yang
faktual, kredibel, dan autentik.
(2)
Aparat Penegak Hukum meneruskan pengaduan masyarakat kepada APIP
untuk ditindaklanjuti.
(3)
APIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
menindaklanjuti pengaduan sesuai kewenangannya.
(4)
APIP melaporkan hasil tindak lanjut pengaduan kepada menteri/kepala
lembaga/kepala daerah.
(5)
Menteri/ kepala lembaga/ kepala daerah melaporkan kepada instansi
yang berwenang, dalam hal diyakini adanya indikasi KKN yang merugikan keuangan
negara.
Artinya,
menurut Pasal 77 tersebut, tidak dengan serta merta kepolisian dan/atau
kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan terhadap adanya indikasi penyimpangan.
Fakta
yang adalah APIP tidak dilibatkan menindaklanjuti setiap pengaduan, tetapi
langsung ditindak lanjuti oleh kepolisian dan/atau kejaksaan menyebabkan para
penyelenggara PBJP merasa dikebiri seolah-olah apa yang diperbuat merupakan
sebuah kesalahan dan akan diproses hukum walaupun proses PBJP sudah diupayakan
sesuai dengan prosedur/mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Secara
umum, proses penanganan tindak pidana diawali dengan adanya laporan dan/atau
aduan dari masyarakat. Dalam hukum pidana dikenal dua kategori delik (tindak
pidana), yaitu delik aduan dan delik laporan. Perbedaannya, pada delik aduan,
pengaduan dari si pengadu (masyarakat) kepada kepolisian dapat menarik kembali
(mencabut) pengaduannya dan dengan demikian kasusnya dapat dihentikan
prosesnya. Contohnya, tindak pidana pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP).
Sedangkan, pada delik laporan, laporan atas suatu tindak pidana tidak dapat
dicabut atau ditarik kembali. Sehingga aparat penegak hukum (kepolisian dan
kejaksaan) wajib menindaklanjuti terkait adanya laporan tersebut. Contohnya,
penganiayaan (Pasal 351 KUHP).
Dalam
hal adanya laporan/pengaduan yang diterima terkait terjadinya suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindak pidana, kepolisian (penyelidik) wajib segera
melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Penekanan kata ‘wajib’ pada
uraian tersebut membuat kepolisian dapat memanggil dan memeriksa seseorang
sesuai dengan kewenangan yang ada pada penyelidik (kepolisian).
Sejatinya,
penyelidikan dilaksanakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan. Apabila sudah dapat ditentukan bahwa suatu peristiwa ternyata
sebuah tindak pidana maka ditingkatkan untuk dilakukan penyidikan untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Setelah
lengkap bukti dan sudah menemukan tersangkanya, maka kasus tersebut dilimpahkan
ke pihak Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan oleh penuntut umum. Dalam hal ini
penuntut umum berwenang menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu. Apabila ada kekurangan pada penyidikan
penyidik, maka penuntut umum mengadakan pra penuntutan untuk menyempurnakan
kembali penyidikan. Kalau sudah sempurna, Penuntut Umum membuat surat dakwaan
dan melimpahkan perkaranya ke Pengadilan dan melakukan penuntutan di
pengadilan.
Dalam
hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dari penuntut umum dan
berpendapat bahwa perkara itu termasuk wewenangnya, ketua Pengadilan menunjuk
hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk itu
menetapkan hari sidang. Pada hari yang ditentukan tersebut, hakim memerintahkan
penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi untuk datang di sidang
pengadilan untuk dilakukan pemeriksaan. Setelah proses pemeriksaan selesai maka
hakim memberikan putusan terhadap perkara pidana tersebut yang harus diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum. Terhadap putusan pemidanaan, terdakwa berhak
untuk mengajukan upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK).
Pada
umumnya, proses penanganan tindak pidana terkait PBJP tidak jauh berbeda dengan
proses penangan tindak pidana pada umumnya. Karena aparat penegak hukum pada
dasarnya menggunakan KUHAP sebagai hukum formil.
Namun
terkait pengaduan pada penyelenggaraan PBJP Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sudah diatur mengenai
mekanisme pengaduan masyarakat pada pasal 77:
(1)
Masyarakat menyampaikan pengaduan kepada APIP disertai bukti yang
faktual, kredibel, dan autentik.
(2)
Aparat Penegak Hukum meneruskan pengaduan masyarakat kepada APIP
untuk ditindaklanjuti.
(3)
APIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
menindaklanjuti pengaduan sesuai kewenangannya.
(4)
APIP melaporkan hasil tindak lanjut pengaduan kepada menteri/kepala
lembaga/kepala daerah.
(5)
Menteri/ kepala lembaga/ kepala daerah melaporkan kepada instansi
yang berwenang, dalam hal diyakini adanya indikasi KKN yang merugikan keuangan
negara.
Untuk
memberikan pemahaman kepada kita maka akan diuraikan unsur-unsur Pasal 77: Pertama,
mengenai pengaduan tersebut oleh masyarakat. Kedua, APH meneruskan
pengaduan masyarakat kepada APIP. Ketiga, APIP menindaklanjuti pengaduan
sesuai kewenanangannya. Keempat , APIP melaporkan hasil tindak lanjut
pengaduan kepada menteri/kepala lembaga/kepala daerah. Kelima, Menteri/
kepala lembaga/ kepala daerah melaporkan kepada instansi yang berwenang, dalam
hal diyakini adanya indikasi KKN yang merugikan keuangan negara.
Pertanyaannya, bagaimana kalau penyedia
barang/jasa atau masyarakat melaporkan kepada kepolisian atas adanya indikasi
penyimpangan prosedur dan/atau KKN dalam pelaksanaan PBJP? Apakah kepolisian
dapat menindaklanjuti laporan tersebut tanpa mengindahkan Pasal 77 tersebut?
Maka, jawabannya adalah DAPAT.
Alasannya, bahwa indikasi penyimpangan prosedur
dan KKN menjadi ranah hukum pidana dan KUHAP merupakan hukum formilnya.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa dalam hal adanya laporan atau pengaduan
yang diterima terkait terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan
tindak pidana, kepolisian (penyelidik) wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. Artinya, kepolisian selaku penyelidik dan/atau
penyidik bisa langsung melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan berdasarkan
ketentuan KUHAP tanpa harus menunggu proses/tahapan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 77 Perpres Nomor 16 Tahun 2018.
Pertanyaan berikutnya kembali muncul, bukankah
Pasal 77 Perpres Nomor 16 Tahun 2018 berlaku khusus (lex specialis) dalam hal
proses pengaduan dalam penyelenggaraan PBJP? Kenapa harus memakai KUHAP?
Terhadap pertanyaan ini, perlu dilakukan kajian dalam kacamata Hukum Tata
Negara. Dalam ilmu perundang-undangan ada dikenal dengan asas lex specialis
derogate legi generali (pada peraturan yang sederajat, peraturan yang lebih
khusus mengalahkan peraturan yang umum). Asas ini berlaku apabila peraturan
yang disandingkan adalah sederajat. Misalnya, undang-undang (UU) dengan UU atau
Perpres dengan Perpres. Untuk itu, dalam kasus ini tidak dapat dipersandingkan
menggunakan asas tersebut karena KUHAP tidak sederajat dengan Nomor 16 Tahun
2018.
Hierarki peraturan perundang-undangan menurut
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yaitu: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, c.
Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, d. Peraturan
Pemerintah, e. Peraturan Presiden, f. Peraturan Daerah Provinsi, dan g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa kekuatan hukum
peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki tersebut.
Meilhat hal maka terdapat kekhawatiran bagi
penyelenggara dalam menyelenggarakan proses PBJP terhadap adanya ‘gangguan’
dari kepolisian dan kejaksaan. Hal ini disebabkan lemahnya perlindungan hukum
bagi penyelenggara PBJP. Karena sampai saat ini, tidak ada jaminan bagi
penyelenggara untuk tidak diperiksa oleh kepolisian dan kejaksaan walaupun
tidak ada ditemukannya indikasi tindak pidana. Setiap saat pihak kepolisian dan
kejaksaan bisa saja melakukan pemanggilan dan pemeriksaan bagi penyelenggara
PBJP.
Konsekuensi hukum terhadap pelanggaran dalam
penyelenggaraan PBJP sebagian besar mengarah kepada hukum pidana, hanya
sebagian kecil masuk ke ranah hukum administrasi negara dan hukum perdata.
Dalam hukum pidana, suatu delik (tindak pidana) diakibatkan oleh dua sebab,
yaitu karena kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa). Perbuatan pidana yang
disebabkan karena kelalaian atau kesengajaan, masing-masing dapat dikenakan
hukuman pidana (sanksi).
Di sisi lain, hukum pidana juga membagi
perbuatan pidana kedalam dua kategori bentuk perbuatannya, yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Artinya, yang dapat dikenakan pidana bukan saja dalam ranah kejahatan tapi juga
ranah pelanggaran.
Bentuk indikasi perbuatan pidana yang dapat
terjadi pada penyelenggaraan PBJP diantaranya:
a. Pemalsuan Dokumen/Surat
(Pasal 263 s.d. Pasal 276 KUHP);
b. Tindak pidana Korupsi
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, paling
tidak terdapat 13 Pasal dan dapat dirumuskan dalam 32 bentuk/jenis tindak
pidana korupsi, yaitu:
Yang terkait dengan penyuapan:
1) Tindak Pidana Korupsi (Pasal 2 UU No. 31
Tahun 1999);
2) Penyalahgunaan kewnangan/jabatan (Pasal 3 UU
No. 31 Tahun 1999);
3) Menyuap Pegawai negeri (Pasal 5 ayat (1) UU
No. 20 Tahun 2001);
4) Pegawai negeri menerima suap (Pasal 5 ayat
(2) UU No. 20 Tahun 2001);
5) Menyuap hakim (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU
No. 20 Tahun 2001);
6) Menyuap advokat (Pasal 6 ayat (1) huruf b UU
No. 20 Tahun 2001);
7) Hakim dan advokat menerima suap (Pasal 6
ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001);
Yang terkait Penggelapan dalam jabatan:
8) Pegawai negeri menggelapkan uang (Pasal 8 UU
No. 20 Tahun 2001);
9) Pegawai negeri membiarkan penggelapan (Pasal
8 UU No. 20 Tahun 2001);
10) Pegwai negeri membantu penggelapan (Pasal 8
UU No. 20 Tahun 2001);
11) Pegawai negeri memalsukan buku untuk
pemeriksaan administrasi (Pasal 9 UU No. 20 Tahun 2001);
12) Pegawai negeri menghilangkan/merusak bukti
(Pasal 10 huruf a UU No. 20 Tahun 2001);
13) Pegawai negeri membiarkan orang lain menghilangkan/merusak
bukti (Pasal 10 huruf b UU No. 20 Tahun 2001);
14) Pegawai negeri membantu orang lain
menghilangkan/merusak bukti (Pasal 10 huruf c UU No. 20 Tahun 2001);
Yang terkait dengan perbuatan pemerasan:
15) Pegawai negeri memeras (Pasal 12 huruf e UU
No. 20 Tahun 2001);
16) Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang
lain (Pasal 12 huruf f UU No. 20 Tahun 2001);
Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang:
17) Pemborong membuat curang (Pasal 7 ayat (1)
huruf a UU No. 20 Tahun 2001);
18) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
(Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 20 Tahun 2001);
19) Rekanan TNI/Polri berbuat curang (Pasal 7
ayat (1) huruf c UU No. 20 Tahun 2001);
20) Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang
(Pasal 7 ayat (1) huruf dan UU No. 20 Tahun 2001);
21) Penerima barang TNI/Polri membiarkan
perbuatan curang (Pasal 7 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001);
22) Pegawai negeri menyerobot tanah negara
sehingga merugikan orang lain (Pasal 12 huruf h UU No. 20 Tahun 2001);
Benturan kepentingan dalam pengadaan:
23) Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan
yang diurusnya (Pasal 12 huruf i UU No. 20 Tahun 2001);
Korupsi yang terkait dengan gratifikasi:
24) Pegawai negeri menerima gratifikasi dan
tidak lapor ke KPK (Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001);
25) Hakim menerima gratifikasi dan tidak lapor
ke KPK (Pasal 12 huruf c UU No. 20 Tahun 2001);
26) Advokat menerima gratifikasi dan tidak
lapor ke KPK (Pasal 12 huruf d UU No. 20 Tahun 2001);
27) Merintangi proses pemeriksaan perkara
korupsi;
28) Tersangka tidak memberikan keterangan
mengenai kekayaan;
29) Bank yang tidak memberikan keterangan
rekening tersangka;
30) Saksi atau ahli yang tidak memberikan
keterangan atau memberi keterangan palsu;
31) Orang yang memegang rahasia jabatan tidak
memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;
32) Saksi yang membuka identitas pelapor.
Selain itu, suatu kontrak/perjanjian dalam
pengadaan apabila terjadi wanprestasi atau melawan hukum yang menyebabkan
kerugian keuangan negara maka dapat dikategorikan menjadi ranah hukum pidana
dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada pihak sebagai pelaku. Hal
ini disebabkan karena kontrak/perjanjian dalam dunia pengadaan bukan merupakan
hukum perdata murni, dimana pegawai negeri yang menjadi salah satu pihak dalam
kontrak/perjanjian tersebut bukan bertindak untuk dan atas namanya sendiri
sebagai personal melainkan ia bertindak atas nama jabatan (ex officio) atau
karena kewenangan atribusi yang ada padanya.
Apabila terdapat kerugian keuangan negara,
dengan serta merta dapat mengarah ke hukum pidana, dan hal ini akan menjadi
objek pemeriksaan (penyelidikan atau penyidikan) bagi kepolisian/kejaksaan,
bahkan KPK. Sulit untuk bisa terlepas dari pengaruh kepolisian/kejaksaan bila
sudah ada indikasi kerugian keuangan negara dalam penyelenggaraan PBJP.
Walaupun hal itu diakibatkan oleh perbuatan perdata maupun perbuatan
administrasi negara.
Melihat kenyataan tersebut di atas, lemahnya
perlindungan hukum bagi penyelenggara PBJP diperlukan adanya sebuah undang-undang
yang mengatur secara khusus tentang penyelenggaraan PBJP. Hal ini dirasa perlu
karena penyelenggara butuh perlindungan hukum dari suatu aturan setara
undang-undang yang mengatur khusus penyelenggaraan PBJP, mengatur tentang
prosedur penangan masalah hukum secara terpadu, mengatur tentang siapa yang
berwenang dalam penanganan laporan/ pengaduan tentang adanya indikasi
pelanggaran prosedur dan indikasi tindak pidana.
Sehingga, dengan adanya undang-undangan ini
yang mengatur dengan jelas pihak-pihak yang berwenang khusus dalam penanganan
pelanggaran pidana, administrasi dan/atau perdata dalam penyelenggaraan PBJP,
dapat memberikan kepastian bagi penyelenggara PBJP. Tidak seperti selama ini.
Kiranya, dalam pembentukan undang-undang
tersebut nantinya, hal yang paling krusial untuk diatur secara khusus ialah
mengenai hal-hal berikut ini:
a. Adanya penegasan tentang
prosedur penanganan pelanggaran yang sifatnya pidana, hukum administrasi dan
hukum pidana. Hal ini dimaksudkan agar terdapat kepastian mengenai jalur mana
yang harus ditempuh oleh para pihak bila terjadi pelanggaran pada ketiga bagian
hukum tersebut (perdata, administrasi dan pidana);
b. Adanya penegasan tentang
siapa yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan
bilamamana ada indikasi pelanggaran dalam Penyelenggaraan PBJ;
c. Adanya penegasan tentang
tahap mana diperbolehkan oleh undang-undang untuk dilakukan
penyelidikan/penyidikan dalam penyelenggaraan PBJP; dan
d. Adanya pengaturan yang jelas
tentang koordinasi dan pembagian kewenangan antara lembaga terkait yang
berwenang dalam penanganan pelanggaran atau pengawasan dalam penyelenggaraan
PBJP, seperti: Kementrian/Lembaga/ Pemerintah Daerah/Instansi terkait lainnya.
Upaya Perlindungan Hukum
Nota kesepahaman (MoU) yang sudah ada antara
Kejaksaan, Kepolisian dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Nomor:
KEP-109/A/JA/09/2007, B/2718/IX/2007, KEP-1093/K/D6/2007 pada tahun 2007 dirasakan
tidak berarti apa-apa tanpa adanya keseriusan pimpinan ketiga lembaga ini untuk
dapat menjalankan isi kesepahaman tersebut sampai kepada jajaran dibawahnya.
Karena pada dasarnya tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada salah satu
pihak yang melanggar kesepahaman tersebut. Tapi yang dituntut adalah niat baik
dan kemauan politik (political will) seluruh elemen yang terkait dalam
penyelenggaran PBJP.
Bila dilihat apa yang diatur dalam nota
kesepahaman tersebut, sebenarnya sudah ada kesepahaman bagi ketiga lembaga ini
dalam penanganan perkara yang termasuk dalam ruang lingkup kerjasama tersebut,
termasuk didalamnya PBJP, dimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi: “Dalam hal terdapat kasus/masalah, termasuk pengadaan barang dan jasa
yang dapat menghambat laju pembangunan nasional, maka pimpinan instansi
melakukan koordinasi.” Kemudian ayat (2) diuraikan bahwa: “Dalam hal dari hasil
koordinasi diperlukan pendalaman, maka BPKP melakukan audit terlebih dahulu
atas kasus/masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Kemudian terkait adanya
indikasi tindak pidana diatur pada ayat (4) yang berbunyi: “Dalam hal dari
hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui adanya penyimpangan
yang berindikasi tindak pidana korupsi, maka BPKP melakukan audit investigatif
dan melaporkan hasilnya dalam rapat koordinasi maupun kepada intsansi penyidik
untuk ditindaklanjuti.”
Jelas apa yang dimaksudkan pada ayat (3)
tersebut di atas, dimana dalam hal adanya indikasi tindak pidana (korupsi)
dalam penyelenggaraan PBJP maka tidak dengan serta merta kepolisian atau
kejaksaan melakukan proses penyelidikan/penyidikan. Diutamakan adanya audit
dari BPKP tentang adanya indikasi korupsi yang berakibat pada kerugian keuangan
negara.
Faktanya bahwa isi nota kesepahaman/kerjasama
ini dirasakan tidak menyentuh sampai ke daerah kabupaten/kota. Selama ini masih
saja terdapat oknum aparat kepolisian yang melakukan pemanggilan dan
pemeriksaan terhadap penyelenggara PBJP bahkan baru pada tahap pengumuman
pelelangan.
Bersambung ....
Komentar
Posting Komentar