Ketika Penegakan Hukum Menyimpang dari Tujuan Keadilan
Disadur dari hasil diskusi WAG komuitas Pengadaan Indonesia
Pengadaan barang dan jasa pemerintah kerap ditempatkan sebagai salah satu sektor paling rawan penyimpangan. Tidak sedikit kebijakan, pengawasan, dan penegakan hukum diarahkan ke area ini dengan alasan menjaga uang negara. Namun ada kenyataan lain yang jarang dibicarakan secara jujur: di balik semangat pengawasan tersebut, tumbuh rasa takut yang sistemik di kalangan pengelola pengadaan.
Bagi banyak PA/KPA, PPK, PPTK, Pokja Pemilihan, hingga penyedia barang dan jasa, risiko terbesar hari ini bukan semata tuduhan korupsi, melainkan tekanan hukum yang datang bahkan sebelum suatu kesalahan dipahami secara utuh. Dalam kondisi tertentu, hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai pelindung, melainkan sebagai ancaman.
Fenomena inilah yang pelan-pelan membentuk apa yang bisa disebut sebagai industri ketakutan.
Pola yang Terulang dan Kian Terbiasa
Di banyak daerah, pola tekanan terhadap pengelola pengadaan cenderung berulang. Awalnya muncul laporan dugaan penyimpangan yang disampaikan oleh pihak yang mengatasnamakan kontrol sosial. Laporan ini sering kali menyangkut aspek administratif, perbedaan tafsir regulasi, atau temuan awal yang belum diverifikasi secara memadai.
Alih-alih diarahkan ke mekanisme klarifikasi atau pembinaan, laporan tersebut kerap disertai pendekatan informal. Ajakan bertemu, komunikasi personal, hingga pesan bahwa persoalan “bisa diselesaikan secara baik-baik” menjadi bagian dari proses yang tidak tercatat dalam sistem.
Bagi pengelola pengadaan, situasi ini menempatkan mereka pada posisi serba salah. Menolak ajakan dianggap berisiko memperpanjang masalah. Menerima pun membuka pintu pada tekanan lanjutan. Ketika komunikasi informal gagal, ancaman berikutnya adalah publikasi media dan pelaporan resmi kepada aparat penegak hukum.
Pada tahap ini, ketakutan mulai mengambil alih.
Ketika Laporan Menjadi Alat Tekanan
Dalam sistem demokrasi, laporan masyarakat adalah instrumen penting pengawasan publik. Namun laporan kehilangan makna etiknya ketika digunakan sebagai alat tekanan. Lebih problematis lagi ketika laporan tersebut menjadi pintu masuk bagi praktik penyalahgunaan kewenangan.
Beberapa kasus yang muncul ke ruang publik memperlihatkan indikasi bagaimana proses penyelidikan dan penyidikan dapat dimanfaatkan sebagai sarana tekanan psikologis. Pemanggilan berulang, nada ancaman, dan penggiringan opini seolah pelanggaran pidana telah terjadi, sering kali dilakukan sebelum ada kepastian mengenai unsur kerugian negara atau niat jahat.
Penting untuk ditegaskan: kritik ini tidak dimaksudkan untuk menuduh institusi penegak hukum secara keseluruhan. Banyak aparat bekerja dengan integritas dan profesionalisme. Namun satu praktik menyimpang yang dibiarkan dapat mencederai kepercayaan publik terhadap seluruh sistem.
Ketika hukum digunakan sebagai alat menakut-nakuti, maka esensi keadilan menjadi kabur.
Mengapa Pengelola Pengadaan Sangat Rentan?
Kerentanan ini bukan tanpa sebab. Setidaknya terdapat beberapa faktor struktural yang membuat pengelola pengadaan berada pada posisi lemah.
Pertama, kompleksitas regulasi. Aturan pengadaan terus berkembang dan tidak jarang menimbulkan perbedaan tafsir. Dalam praktik, perbedaan tafsir administratif dapat dengan mudah dipersepsikan sebagai dugaan pelanggaran.
Kedua, tanggung jawab yang bersifat personal. Sistem pengelolaan keuangan negara masih menempatkan beban besar pada individu pejabat. Ketika masalah muncul, perlindungan institusional sering kali minim.
Ketiga, budaya birokrasi yang cenderung menghindari konflik. Banyak pejabat lebih memilih “aman” daripada berhadapan dengan proses hukum yang panjang dan melelahkan, meskipun mereka merasa telah bekerja sesuai prosedur.
Keempat, belum tegasnya pemisahan antara kesalahan administratif dan tindak pidana. Tidak semua kekeliruan adalah kejahatan, namun batas ini sering kali kabur dalam praktik penegakan hukum.
Dalam kondisi seperti ini, rasa takut menjadi alat yang sangat efektif.
Dampak yang Lebih Luas
Jika dibiarkan, situasi ini akan menimbulkan dampak serius. Pengelola pengadaan yang berintegritas akan semakin enggan mengambil keputusan. Inovasi terhambat. Proses menjadi kaku dan defensif. Orientasi pelayanan publik bergeser menjadi sekadar upaya bertahan dari risiko hukum.
Lebih jauh, jabatan pengelola pengadaan berpotensi hanya diminati oleh mereka yang “tahan tekanan”, bukan mereka yang paling kompeten dan berintegritas. Ini adalah kerugian jangka panjang bagi tata kelola pemerintahan.
Ketika orang baik memilih menjauh, sistem kehilangan ruhnya.
Peran Negara yang Tidak Bisa Ditunda
Negara tidak boleh menormalisasi ketakutan ini. Penegakan hukum yang kuat harus berjalan seiring dengan perlindungan terhadap aparatur yang bekerja jujur.
Pengawasan terhadap aparat penegak hukum perlu diperkuat, khususnya terkait dugaan penyalahgunaan kewenangan. Dalam konteks ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki peran strategis untuk memastikan bahwa hukum tidak menyimpang dari tujuan keadilan.
Selain itu, mekanisme penanganan laporan pengadaan perlu diperbaiki secara sistemik. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) seharusnya menjadi pintu awal verifikasi. Jika temuan bersifat administratif, pendekatan pembinaan harus diutamakan. Instrumen pidana seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan langkah pertama.
Pendekatan ini bukan berarti melemahkan hukum. Justru sebaliknya, ia memperkuat legitimasi penegakan hukum di mata publik.
Membangun Keberanian Berbasis Sistem
Di sisi lain, pengelola pengadaan juga perlu membangun keberanian yang rasional. Keberanian yang lahir dari sistem, bukan dari nekat.
Dokumentasi yang rapi, keputusan kolektif, transparansi proses, serta kepatuhan pada rekomendasi pengawasan internal adalah bentuk perlindungan paling realistis. Pemerasan dan tekanan tumbuh subur dalam ruang gelap, tetapi melemah ketika proses dapat diuji secara terbuka.
Kejujuran harus didukung oleh sistem yang melindungi.
Penutup: Mengembalikan Hukum ke Relnya
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai tudingan, melainkan sebagai refleksi kritis. Pengadaan barang dan jasa adalah instrumen pelayanan publik yang vital. Ia membutuhkan pengawasan, tetapi juga membutuhkan keadilan.
Hukum seharusnya menjadi alat untuk meluruskan, bukan menakut-nakuti. Negara berkewajiban memastikan bahwa bekerja jujur tidak menjadi risiko, dan kesalahan administratif tidak otomatis diperlakukan sebagai kejahatan.
Jika kita ingin pengadaan yang bersih dan profesional, maka rasa aman bagi orang-orang yang bekerja jujur harus menjadi bagian dari kebijakan.
Tanpa itu, industri ketakutan akan terus hidup—dan kepercayaan kepada negara akan semakin rapuh.
Komentar
Posting Komentar