- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Meluruskan Posisi PPK dalam APBD
Menjaga Batas Kewenangan dan Integritas Pengelolaan Keuangan Daerah
Oleh: Diskusi Grup Rumah Belajar Pengadaan Indonesia
Perdebatan mengenai keberadaan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terus berulang dan belum menemukan titik temu. Isu ini kembali mengemuka ketika muncul pandangan yang mendorong penunjukan PPK di luar Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tanpa menempatkannya secara utuh dalam kerangka pengelolaan keuangan daerah.
Padahal, dalam sistem APBD, PPK sebagai pejabat pengelola keuangan tidak dikenal. Kekeliruan memahami posisi ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan berpotensi menjadi persoalan hukum. Dalam rezim pemberantasan korupsi, melawan hukum merupakan salah satu unsur utama yang tidak boleh diabaikan oleh pejabat publik.
APBD Mengatur Belanja, Bukan Jabatan
Regulasi pengelolaan keuangan daerah—mulai dari PP 12 Tahun 2019 hingga Permendagri 77 Tahun 2020—secara tegas hanya mengenal PA, KPA, dan PPTK sebagai pejabat pengelola keuangan daerah. APBD disusun untuk mengatur program, kegiatan, dan belanja, bukan untuk menetapkan atau menciptakan jabatan baru.
Konsekuensinya jelas: dalam APBD, PA/KPA-lah yang bertanggung jawab atas penggunaan anggaran sekaligus menandatangani kontrak. Menunjuk pihak lain sebagai PPK untuk mengambil alih fungsi tersebut berarti keluar dari desain sistem keuangan daerah yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Memahami Batas Kewenangan LKPP
LKPP memiliki kewenangan di bidang proses pengadaan barang/jasa, bukan dalam pengaturan pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Di sinilah batas yang sering terlewatkan dalam praktik.
Pengelolaan keuangan negara (APBN) diatur melalui PP 45 Tahun 2013 dan berada di bawah koordinasi Menteri Keuangan. Sementara itu, pengelolaan keuangan daerah (APBD) diatur melalui PP 12 Tahun 2019 dan dikomandoi oleh Menteri Dalam Negeri dengan pedoman teknis Permendagri 77 Tahun 2020. Menyamakan kedua rezim ini adalah kekeliruan mendasar yang berisiko menimbulkan praktik pengelolaan anggaran yang tidak sah.
Oleh karena itu, penafsiran Perpres Pengadaan Barang/Jasa harus tetap tunduk dan selaras dengan ketentuan pengelolaan keuangan daerah.
PPK dalam Perpres: Bersifat Kontekstual
Dalam Perpres Pengadaan Barang/Jasa, PPK memang dikenal. Namun keberadaannya bersifat opsional dan kontekstual. Dalam rezim APBN, pelimpahan kewenangan kepada PPK dimungkinkan. Sebaliknya, dalam APBD, ruang tersebut tertutup, karena sistem keuangan daerah tidak membuka opsi pelimpahan kewenangan kontraktual di luar PA/KPA.
Artinya, PPK dalam APBD tidak dapat disamakan dengan PPK dalam APBN. Pemaksaan penyamaan tersebut justru menciptakan risiko hukum baru bagi pejabat daerah.
Solusi yang Tetap Sah Secara Hukum
Perpres Pengadaan sejatinya telah menyediakan jalan keluar yang sah. Apabila tidak terdapat PPK, maka PPTK yang ditugaskan wajib memiliki kompetensi PPK sesuai tipologi. Dengan mekanisme ini, pengadaan tetap berjalan tanpa harus memaksakan konstruksi jabatan yang bertentangan dengan sistem APBD.
Apabila daerah tetap menugaskan PPK, maka penempatannya harus jelas sebagai pengelola pengadaan, bukan pengelola keuangan, dan tidak memiliki kewenangan menandatangani kontrak. Honorariumnya pun diatur sebagai bagian dari fungsi pengadaan, bukan sebagai pejabat pengelola keuangan daerah.
Integritas sebagai Kunci
Pada akhirnya, persoalan ini bukan semata soal teknis pengadaan, melainkan soal integritas pejabat publik. Menjadi PA atau KPA berarti siap memikul tanggung jawab hukum atas penggunaan anggaran. Jika ada PA/KPA yang tidak bersedia menjalankan peran tersebut, maka secara etik dan hukum, jabatan tersebut patut untuk dipertimbangkan kembali.
Meluruskan posisi PPK dalam APBD bukan untuk menghambat pengadaan, melainkan untuk melindungi negara, melindungi pejabat, dan menjaga tata kelola pemerintahan daerah yang akuntabel.
Komentar
Posting Komentar