Langsung ke konten utama

Entri yang Diunggulkan

Meluruskan Posisi PPK dalam APBD

Apakah PPK Ada di APBD? Meluruskan Posisi PPK dalam APBD: Antara Kekeliruan Tafsir dan Tanggung Jawab Hukum

Isu yang kerap memunculkan perdebatan di kalangan pengelola keuangan dan pengadaan barang/jasa pemerintah adalah pertanyaan: apakah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tercantum di dalam APBD?. Perdebatan ini sering muncul saat pembahasan honorarium, tanggung jawab hukum, maupun penempatan peran PPK dalam struktur organisasi perangkat daerah. Isu mengenai keberadaan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam APBD selalu menjadi diskusi yang tidak pernah selesai. Perbedaan pemahaman sering menimbulkan keraguan, khususnya terkait tanggung jawab, honorarium, dan risiko hukum PPK. Masih terdapat perdebatan yang berulang terkait posisi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Perdebatan ini umumnya muncul karena belum adanya pemahaman yang utuh antara rezim pengelolaan keuangan daerah dan rezim pengadaan barang/jasa pemerintah.

Tulisan ini bertujuan memberikan jawaban komprehensif dan tegas dengan pendekatan normatif (dasar hukum) dan praktik penganggaran, agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berulang.

Konsekuensi Hukum Jika Salah Memahami Posisi PPK

  • Honorarium berpotensi dinilai tidak sah;
  • Tanggung jawab PPK menjadi kabur;
  • Risiko temuan APIP dan BPK meningkat;
  • PPK rentan dipersalahkan secara pidana atas kesalahan sistemik.

Landasan Hukum yang Digunakan

Landasan hukum utama yang digunakan adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

  2. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

  3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah

  4. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025

Seluruh regulasi tersebut membentuk satu kesatuan sistem hukum yang mengatur kewenangan, tanggung jawab, dan hubungan antara PA, KPA, PPTK, dan PPK.

PA merupakan pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran, sedangkan KPA adalah pejabat yang menerima pelimpahan kewenangan dari PA.







Istilah PPK adanya pada APBN


Menempatkan PPK Secara Tepat dalam Rezim APBD: Meluruskan Kekeliruan Tafsir dan Menjaga Integritas Hukum

Perdebatan mengenai keberadaan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seolah tidak pernah selesai. Isu ini kembali mengemuka ketika muncul pandangan yang mendorong penunjukan PPK di luar Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), tanpa terlebih dahulu menempatkannya secara utuh dalam kerangka pengelolaan keuangan daerah.

Padahal, dalam sistem APBD, PPK sebagai pejabat pengelola keuangan tidak dikenal. Kekeliruan memahami hal ini bukan sekadar persoalan teknis administrasi, tetapi berpotensi menjadi persoalan hukum yang serius. Dalam konteks tindak pidana korupsi, melawan hukum merupakan salah satu unsur utama yang tidak boleh diabaikan.

APBD Tidak Mengatur Jabatan PPK

Regulasi pengelolaan keuangan daerah—mulai dari PP 12 Tahun 2019 hingga Permendagri 77 Tahun 2020—secara tegas hanya mengenal PA, KPA, dan PPTK sebagai pejabat pengelola keuangan daerah. Tidak terdapat satu pun norma yang menempatkan PPK sebagai pejabat yang berdiri sendiri dalam struktur APBD.

Konsekuensinya jelas: dalam APBD, PA/KPA-lah yang bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab dan menandatangani kontrak. Menunjuk pihak lain sebagai PPK untuk mengambil alih fungsi tersebut berarti keluar dari desain sistem keuangan daerah yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Batas Kewenangan LKPP

Perlu ditegaskan bahwa LKPP berwenang mengatur proses pengadaan barang/jasa, bukan mengatur rezim pengelolaan keuangan. Pengelolaan keuangan negara (APBN) dan keuangan daerah (APBD) berada dalam dua rezim yang berbeda.

Keuangan negara diatur melalui PP 45 Tahun 2013 dan dikomandoi oleh Menteri Keuangan, sedangkan keuangan daerah diatur melalui PP 12 Tahun 2019 yang berada di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Menyamakan keduanya merupakan kekeliruan mendasar yang berpotensi menimbulkan praktik pengelolaan anggaran yang tidak sah.

Oleh karena itu, penafsiran Perpres Pengadaan Barang/Jasa tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan ketentuan pengelolaan keuangan daerah. LKPP tidak dapat, dan tidak seharusnya, menabrak batas kewenangan tersebut.

PPK dalam Perpres Bersifat Opsional

Dalam Perpres Pengadaan Barang/Jasa, keberadaan PPK bersifat opsional dan kontekstual. Dalam rezim APBN, pelimpahan kewenangan kepada PPK dimungkinkan. Namun dalam APBD, ruang tersebut tertutup, karena sistem keuangan daerah tidak membuka opsi pelimpahan kewenangan kontraktual di luar PA/KPA.

Artinya, PPK dalam APBD tidak dapat disamakan dengan PPK dalam APBN. Memaksakan penyamaan tersebut justru menciptakan risiko hukum baru bagi pejabat daerah.

Alternatif yang Sah Secara Hukum

Jika daerah merasa perlu menugaskan PPK, maka penempatannya harus tepat: sebagai pengelola pengadaan, bukan pengelola keuangan. Dalam posisi ini, PPK tidak berwenang menandatangani kontrak. Honorariumnya pun diatur dalam SSH sebagai bagian dari fungsi pengadaan, sejajar dengan Pokja Pemilihan, Pejabat Pengadaan, dan UKPBJ.

Perpres Pengadaan juga telah memberikan solusi yang jelas: apabila tidak terdapat PPK, maka PPTK yang ditugaskan wajib memiliki kompetensi PPK sesuai tipologi (A, B, atau C). Dengan demikian, pengadaan tetap berjalan tanpa harus melanggar sistem APBD.

Integritas Pejabat Publik

Persoalan ini sejatinya bukan hanya soal struktur jabatan, tetapi soal integritas. Menjadi PA atau KPA berarti siap memikul tanggung jawab hukum atas penggunaan anggaran. Jika ada PA/KPA yang tidak bersedia menjalankan peran tersebut, maka secara etik dan hukum, yang bersangkutan seharusnya mempertimbangkan untuk tidak menjabat sebagai PA/KPA.

Integritas adalah menjalankan aturan selurus-lurusnya, bukan mencari jalan pintas yang justru berisiko melanggar hukum. Meluruskan posisi PPK dalam APBD bukan untuk menghambat pengadaan, melainkan untuk melindungi negara, melindungi pejabat, dan menjaga tata kelola pemerintahan yang akuntabel.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANDUAN MENYUSUN HPS JASA KONSULTAN KONSTRUKSI UNTUK PEMULA

  PANDUAN MENYUSUN HPS JASA KONSULTAN KONSTRUKSI UNTUK PEMULA Penyusunan dan penetapan HPS bertujuan untuk menilai kewajaran harga penawaran dan/atau kewajaran harga satuan, dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah dan dasar untuk menetapkan besaran nilai jaminan pelaksanaan bagi penawaran yang kurang dari 80% (delapan puluh persen) dari nilai HPS. Untuk menentukan besaran biaya pembangunan adalah salah satunya dari Peraturan Pemerintah nomor 16 Tahun 2021 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan Gedung. Anggaran untuk pembangunan dituangkan dalam DIPA/DPA 1.     Perencanaan Teknis; 2.     Pelaksanaan konstruksi fisik; 3.     Manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi; dan 4.     Pengelolaan Kegiatan. File dapat diunduh pada: Peraturan Pemerintah nomor 16 Tahun 2021 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang nomor 28 tahun 2002 tentang bangunan Gedung. Data/info...

Membuat Pre-test dan Post-test pada Pelatihan secara online melalui google form

Sebagai Fasilitator atau Trainer dalam mengajar perlu semaksimal mungkin untuk melakukan transfer pengetahuan. salah satu cara untuk mengetahui tingkat keberhasilan adalah melalui pre-test dan post-test.  Pada tulisan kali ini, akan kami sampaikan tutorial membuat pre-test dan post-test melalui google form.  Dengan menggunakan  pre-test dan post-test melalui google form, maka membuat lebih praktis dan nilai peserta langsung dapat direkap. Dapat dibuat analisa disoal mana yang paling banyak salah yang berarti belum dipahami peserta. Pre test diberikan dengan maksud untuk mengetahui apakah ada diantara peserta yang sudah mengetahui mengenai materi yang akan diajarkan. Pre test juga bisa di artikan sebagai kegiatan menguji tingkatan pengetahuan peserta terhadap materi yang akan disampaikan, kegiatan pre test dilakukan sebelum kegiatan pengajaran diberikan. Adapun manfaat dari diadakannya pree test adalah untuk mengetahui kemampuan awal peserta mengenai pelajaran...

PEMBAHASAN TRY OUT PELATIHAN KOMPETENSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH LEVEL 1

1. Salah satu tahapan perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah identifikasi kebutuhan. Proses tersebut merupakan gambaran aktivitas dalam segmen rantai pasok .... A. Hulu B. Internal C. Hilir D. Eksternal Ulasan Jawaban: Alasan jawaban benar: Aktivitas utama dalam aktivitas hulu (upstream supply chain) adalah proses perencanaan, serta pencarian pemasok dan pengadaan barang/jasa Alasan jawaban salah: Pilihan jawaban (B) salah karena rantai pasok internal, aktivitas utama adalah manajemen produksi, penyimpanan dan pengendalian persediaan, serta manajemen pengendalian mutu. Aktivitas di rantai pasok ini lebih tepat adalah pelaksanaan kontrak Pilihan jawaban (C) salah karena rantai pasok hilir, Aktivitas utama adalah pada proses transportasi, distribusi, serah terima, dan layanan purna jual. Pilihan jawaban (D) salah karena dalam MRP tidak terdapat rantai pasok ekternal