Sejak Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) berdiri, jumlah penanganan perkara korupsi pada sektor Pengadaan
Barang dan Jasa (PBJ) cukup tinggi, yakni sekitar 163 kasus dari 594 kasus yang
ditangani. Ini menunjukkan, sektor PBJ masih menjadi sektor yang rawan
terjadinya korupsi. Kasus-kasus tersebut berasal dari hampir 13 ribu pengaduan
dan menyebabkan kerugian keuangan negara hampir Rp1 triliun.
Dasar pembentukan Permendagri 99/2014 sudah tidak relevan lagi saat ini. Setidaknya 3 aturan dasar pembentuk Permendagri telah diganti dan berubah.
Ditambah lagi Permendagri 99/2014 telah keliru mengutip pasal dalam Perpres 54/2010, sebagaimana diubah dengan perpres 70/2012, untuk mendefinisikan tugas dan fungsi ULP. Kekeliruan ini berakibat fatal pada pelemahan tugas dan fungsi kelembagaan pengadaan barang/jasa. Akhirnya ULP hanya ditempatkan pada sub unit sekretariat daerah. Ini merupakan sebauh kekeliruan yang besar!
Dasar pembentukan Permendagri 99/2014 sudah tidak relevan lagi saat ini. Setidaknya 3 aturan dasar pembentuk Permendagri telah diganti dan berubah.
Ditambah lagi Permendagri 99/2014 telah keliru mengutip pasal dalam Perpres 54/2010, sebagaimana diubah dengan perpres 70/2012, untuk mendefinisikan tugas dan fungsi ULP. Kekeliruan ini berakibat fatal pada pelemahan tugas dan fungsi kelembagaan pengadaan barang/jasa. Akhirnya ULP hanya ditempatkan pada sub unit sekretariat daerah. Ini merupakan sebauh kekeliruan yang besar!
Berdasarkan hasil kajian KPK
beberapa waktu lalu, salah satu permasalahan terkait tingginya kasus PBJ,
adalah keberadaan Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Pokja yang tidak
profesional, tidak permanen dan tidak independen. ULP yang demikian, menurut
Ketua KPK Agus Rahardjo, sangat rawan mendapat intervensi.
Persoalan ULP permanen memang
sangat mendesak. Berdasarkan data Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa
Pemerintah (LKPP) per November 2016, hanya 94 ULP permanen (16%) dari 707
jumlah K/L/D/I yang sudah terbentuk. ULP permanen itu sendiri, didefinisikan
sebagai Unit Pengadaan yang khusus/fokus menangani pengadaan, mulai dari
perencanaan pengadaan, pelaksanaan, melakukan vendor management system dan
kegiataan pengadaan lain. ULP bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau
melekat pada unit yang sudah ada.
“Pada ULP permanen, kegiatan
pengadaan dilakukan oleh fungsional pengadaan yang tidak rangkap jabatan. KPK
berharap hal ini dapat menghindari terjadinya intervensi dan konflik
kepentingan dalam pelaksanaan PBJ,” tegas Agus.
Belum permanennya organisasi
ULP, menurut Agus, memang menjadi potensi masalah. Pasalnya, dalam kondisi
demikian, maka ULP dan Pokja tidak dapat bersikap profesional dan independen.
Tidak profesional, karena tidak ada kepastian karier, sifatnya hanya sementara
(setiap tahun berganti).
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam kajiannya menyebutkan bahwa korupsi pengadaan barang/jasa
pemerintah (PBJ) sebagian besar terjadi dengan modus intervensi terhadap
pelaksanaan pengadaan. Mengingat hal tersebut, KPK memberikan rekomendasi
dibentuknya badan kelembagaan pengadaan dalam wujud sentralisasi pengadaan
barang/jasa dan integrasi perencanaan dan penganggaran PBJ.
Sentralisasi
dan integrasi pengadaan barang/jasa adalah pesan yang sangat kuat dari KPK
untuk memperkuat peran dan fungsi kelembagaan pengadaan barang/jasa. Sayangnya
gema penguatan ini tidak didengar oleh sebagian besar pemerintah daerah. Yang
terjadi sebaliknya, pelemahan struktur kelembagaan pengadaan.
Justru
yang paling berpengaruh guna menciptakan harapan terbentuknya kelembagaan
pengadaan daerah bertumpu pada sikap tegas eksekutif dan legislatif pada
tiap-tiap daerah. Dibutuhkan komitmen Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam
memperbaiki sistem pengadaan.
Untuk membentuk ULP permanen, maka ada beberapa hal yang perlu
diperjelas secara regulasi, diantaranya:
1. Dari sisi fungsi,
tidak lagi hanya melakukan pemilihan penyedia, akan tetapi mulai dari perencanaan pengadaan, pelaksanaan, melakukan vendor
management system dan kegiataan pengadaan lain. sehingga seluruh ULP yang
permanen memiliki bentuk yang seragam.
2. Dari sisi kelembagaan, bagaimana bentuk kelembagaannya apakah berbentuk Bagian, atau
Badan atau bentuk yang lainnya. Bagaimana kedudukan ULP dan LPSE dalam posisi ULP menjadi Bagian atau Badan.
3.
Dari
sisi SDM, apabila telah terbentuk menjadi permanen maka akan terdapat
pejabat struktural dan fungsional pengadaan.
Dari ketiga hal diatas yang
paling menjadi sorotan adalah kelembagaan ULP atau pembentukan “RUMAH”. Kalau
SDM-nya sudah ada, sudah ada fungsional tapi belum ada rumahnya, bagaimana
jadinya.
Selama ini pemerintah daerah mengacu pada Peraturan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2014 Tentang Pedoman
Pembentukan ULP di Lingkungan Pemerintah Provinsi Dan Kabupaten/Kota, Pasal 3
dan 4, yang mengamanatkan Kepala Daerah membentuk ULP Pemerintah berkedudukan
di Biro atau Bagian pada Sekretariat Daerah. Keputusan pembentukan Struktur
Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) ULP yang mendasarkan pada Permendagri
99/2014 adalah hal yang keliru.
1. Peraturan Pemerintah
Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4741) yang telah digantikan oleh PP 18/2015.
2. Peraturan Presiden
Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa telah
diubah terakhir kali dengan Perpres 4/2015.
3. Peraturan Kepala
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 002/PRT/KA/VII/2009
tentang Pedoman Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Pemerintah
telah diubah dengan Perka LKPP 5/2012 Tentang ULP sebagaimana diubah dengan
Perka 2/2015.
Maka
jika peraturan teknis Kementerian Dalam Negeri tidak lagi dapat dijadikan
dasar, mari mengacu pada aturan yang lebih tinggi. Aturan hukum ini adalah
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (UU 23/2014) serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah (PP 18/2016).
Pilihan
bentuk kelembagaan yang sesuai dengan pembahasan ULP pada UU 23/2014 setidaknya
adalah sebagai berikut :
Sekretariat
sebagai koordinator administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah
serta pelayanan administratif (pasal 213).
Dinas
melaksanakan urusan pemerintahan dengan tugas utama memberikan layanan langsung
kepada masyarakat (Pasal 217).
Badan
sebagai unsur penunjang dengan tugas memberikan dukungan teknokratik kepada
perangkat daerah yang melaksanakan urusan dan perangkat daerah sebagai unsur
pendukung (Pasal 219).
Masih
banyak yang mempertanyakan tentang keberadaan urusan “pengadaan barang/jasa
pemerintah” pada UU 23/2014 dan PP 18/2016. Hal ini karena mereka beranggapan
jika pengadaan barang/jasa tidak tertuang secara jelas sebagai satu urusan maka
tidak dapat dibentuk sebagai satu perangkat daerah.
PP
18/2016 membagi jumlah perangkat daerah berdasarkan Fungsi Urusan ke
dalam Dinas, Fungsi Pendukung ke
dalam Sekretariat Daerah dan Fungsi Penunjangke dalam Badan.
Ketika
urusan pengadaan barang/jasa tidak termaktub dalam UU 23/2014 maupun PP
18/2016, bukan berarti diharamkan terbentuknya perangkat daerah pelaksana
pengadaan barang/jasa. Ketiadaan urusan tidak lebih karena memang pengadaan
barang/jasa tidak tepat disebut sebagai urusan pemerintahan melainkan hanya
unsur penunjang urusan pemerintahan.
Pengadaan
Barang/Jasa mempunyai karakteristik yang sama persis seperti Fungsi Perencanaan yang
diwadahi oleh Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Fungsi Keuangan diwadahi
oleh Badan Pengelolaan Keuangan
Daerah, Fungsi kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan diwadahi
oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Fungsi Penelitian dan Pengembangan yang
diwadahi oleh Badan
Penelitian Pengembangan Daerah (BALITBANGDA).
Bahkan jika
berdasarkan kriteria fungsi
kepegawaian dan pendidikan dan pelatihan dapat diwadahi oleh
dua Badan Daerah maka dapat dipisah menjadi Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah
(BADIKLATDA) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
Kesamaan
karakteristik yang dimaksud adalah bahwa fungsi ini melekat pada seluruh
perangkat daerah, bukan hanya ada pada satu atau beberapa perangkat daerah.
Fungsi keuangan, perencanaan,
kepegawaian dan diklat melekat pada seluruh organisasi
perangkat daerah, baik itu dinas, badan maupun sekretariat daerah. Demikian
pula dengan fungsi pengadaan barang/jasa.
Ini menunjukkan
bahwa peluang membentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah (BPBJD) secara
mandiri sangat besar. Sebagaimana tertuang pada PP 18/2016 pasal 24 dan 46 ayat
5 huruf e, bahwa Unsur
penunjang Urusan Pemerintahan meliputi salah satunya fungsi penunjang lainnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pengadaan
barang/jasa bukanlah urusan pemerintahan sehingga tidak perlu dicari dan
ditegaskan sebagai urusan pemerintahan. Pengadaan barang/jasa adalah fungsi
penunjang urusan pemerintahan yang dapat diwadahi oleh sebuah Badan Daerah.
Meski demikian tentu jika pada PP 18/2016 tertuang secara jelas fungsi
penunjang pengadaan barang/jasa akan lebih memperkuat acuan regulasi.
Peran dan fungsi
Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (Jabfung PBJP) menjadi salah
satu titik kunci diskusi pentingnya dibentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa
Daerah. PP 18/2016 secara eksplisit tidak menempatkan kelompok jabatan
fungsional pada unit Sekretariat Daerah. Kelompok jabatan fungsional hanya ada
pada fungsi urusan (Dinas) dan fungsi penunjang urusan pemerintahan (Badan).
Dengan demikian
kebijakan pembentukan (Jabfung PBJP) yang digagas LKPP-RI dan disetujui oleh
Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (KEMENPAN) secara tegas mengamanatkan
pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah.
Penegasan
tentang Badan Pengadaan Barang/Jasa juga telah disampaikan oleh LKPP sebagai
satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan kebijakan pengadaan barang/jasa,
dalam Surat Kepala LKPPNomor : 179/KA/9/2016 tanggal 20 September 2016 tentang
Pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pembentukan
Badan Pengadaan Barang/Jasa membuka peluang daerah untuk dapat diberikan
kewenangan penyelenggaraan e-Katalog Lokal, Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa,
Integrasi Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKAP), Pelelangan Cepat dan
berbagai pengembangan sistem modernisasi pengadaan barang/jasa lainnya.
Jika
Pemerintah benar-benar serius dalam semangat anti korupsi maka, sebagaimana rekomendasi
KPK, penguatan kelembagaan pengadaan akan diperjuangkan. Membentuk Badan
Pengadaan Barang/Jasa adalah wujud nyatanya. Mari kita tunggu langkah tegas,
berani dan nyata dari Pemerintah Daerah.
Komentar
Posting Komentar